Pohon Nama untuk Bunga dan Adik
“Bunga, ke
sini dulu, Nak. Ayah dan Ibu mau bicara”. Bunga yang baru selesai mandi sore
segera menghampiri ayah dan ibunya. Mereka berdua duduk di bale kecil di
belakang rumah dekat kebun tanaman obat kesayangan Bunga. Ayah menggeser
duduknya, Bunga duduk di tengah-tengah di antara ayah dan ibu.
“Bunga, Bunga, kan, selama ini sendirian di rumah.
Sekarang, Bunga akan punya teman di rumah, selain ayah dan ibu”. Ayah berkata
lembut sambil menatap mata Bunga dengan penuh perhatian. Ibu membelai rambut
Bunga yang hitam tebal.
“Maksud Ayah, apa?” Bunga bertanya tak mengerti.
Ibu tersenyum sambil bertukar lirik
dengan ayah. “Bunga, Bunga akan punya adik, segera”, Ibu menyambung perkataan
ayah. Mata Bunga membelalak senang. “Benar Ayah? Benar Ibu? Bunga akan punya
adik? Hore! Bunga tidak akan sendirian lagi di rumah!” Bunga mencium kedua pipi
ayahnya dan memeluk ibunya dengan bahagia.
Masih sambil memeluk ibunya, Bunga merasa sore itu
adalah sore yang paling indah dalam hidupnya. Lalu ayah menggamit Bunga dan ibu
masuk ke dalam rumah. Senja telah meredup gelap ketika pintu ditutup.
Ibu masih
tidur sore itu sehabis pulang dari pemeriksaan kehamilan. Ayah sedang bekerja
di halaman depan yang tidak seberapa besar. Bunga baru saja membersihkan kebun
tanaman obat miliknya dari tanaman gulma penganggu. Segera setelah mencuci
tangannya ia menemui ayahnya.
“Yah,
Ayah, apakah adik juga akan mendapatkan pohon nama dan kebun tanaman obat sendiri
seperti aku, Ayah?” Bunga bertanya dengan mata jeli kepada ayahnya. Ayah menoleh,
“Iya. Ayah akan menanam pohon nama dan kebun tanaman obat juga untuk adikmu”,
sambil meletakkan pipa pralon yang ia pegang.“Di
halaman depan ini, Ayah? Kan, sempit”. Bunga bertanya-tanya. “Pipa-pipa ini
juga untuk apa, Yah?
“Halaman
belakang rumah kita sudah ditanami tanaman obat dan pohon nama milikmu. Untuk
adikmu, Ayah akan menanam secara hidroponik saja. Pipa ini tempat tanaman obat
untuk adikmu nanti. Sekarang coba Bunga bantu Ayah mencari jenis-jenis tanaman
obat yang bisa ditanam secara hidroponik”. Ayah meneruskan pekerjaannya.
Bunga
sangat senang mendengar permintaan Ayahnya. Gadis kecil berkuncir kuda itu
segera menuju ruang belajar dan menyalakan komputer. Segera setelah komputer
menyala ia masuk ke mesin pencari dan mengetikkan kata kunci, “Tanaman obat
keluarga”. Kemudian ia ingat bahwa ayah akan menanam tanaman obat secara
hidroponik. Jari-jari lentik kecil Bunga segera mengetikkan kata kunci
pencarian yang sesuai dengan apa yang ia cari.
Pagi itu
di hari Minggu, ketika burung-burung yang bersarang di cabang pohon mangga
milik Bunga masih sibuk terbang ke sana-kemari mencari makan, Bunga bertanya
kepada ayah. “Ayah, mengapa Ayah menanam tanaman obat dan pohon nama untuk
Bunga dan adik, Yah?”. Ia sedang membantu ayahnya mempersiapkan bibit kumis
kucing, kemuning, dan bunga kenop. Ketiga tanaman obat itu biasa digunakan
untuk mengobati sembelit, sakit perut dan sesak. Ayah sedang mempersiapkan
bahan-bahan campuran cairan nutrisi untuk tanaman obat itu.
Ayah
menghentikan pekerjaannya, lalu ayah mencuci tangan bersih-bersih,
mengeringkannya dan mengelap keringat yang menggantung di kening. Ayah duduk di
kursi teras. Bunga menatap ayah dengan penasaran. Ia juga menghentikan
pekerjaannya. “Menurut Nenekmu, Ayah punya kakak yang meninggal sewaktu masih
bayi”. Ayah mulai bercerita. “Nenekmu masih sangat muda sewaktu mengandung
kakak Ayah, masih remaja”. Bunga menatap ayah dengan penuh perhatian.
“Kehamilan nenekmu sangat sulit, Beliau sering sakit-sakitan dan sulit makan.
Ketika kakak Ayah lahir, Nenekmu bilang, kakak Ayah lahir dengan berat badan
yang kurang”. Ayah menatap Bunga, “Nenekmu tidak tahu banyak bagaimana caranya
merawat anak dengan berat badan kurang, lagipula Nenekmu tubuhnya sangat lemah
karena kurang mendapat gizi yang cukup ketika hamil”.
Ayah
berhenti sebentar menarik nafas. “Itulah sebabnya Bunga, Ayah tidak ingin itu
terjadi pada ibumu, pada Bunga dan, pada adik. Jika Ibu tidak bernafsu makan,
Ayah akan merebuskan daun pepaya sebagai lalapan. Ayah akan suapkan
sedikit-sedikit supaya Ibu bernafsu makan dan tidak kekurangan gizi selama
kehamilan”. Lalu ayah bangkit dari duduknya, “Ayo, kita lanjutkan supaya cepat
selesai”, sambil menggamit lengan Bunga. Bunga mengangguk dan berkata pelan,
“Terima kasih, Ayah, sudah memperhatikan ibu, Bunga dan adik”. Ayah tersenyum
mengangguk dan membelai kepala Bunga. Berdua, ayah dan Bunga bekerja dengan
tekun.
Burung-burung
mencicit riang pagi itu, Bunga membuka jendela kamarnya yang menghadap kebun
belakang dan menghirup udara segar. Matanya memandang pohon mangga yang ayah
tanam ketika Bunga lahir. Itu sebabnya pohon itu disebut pohon nama. Ia melihat
pohon mangga itu sudah mulai berbuah. Bunga berpikir pohon apa yang akan Ayah
tanam untuk adiknya. “Ah, pohon jeruk bagus juga!”. “Jika musim mangga berbuah
aroma mangga yang manis memenuhi rumah. Dan bila jeruk sudah musimnya, pasti
rumah ini akan harum dengan aroma jeruk!”, begitu pikirnya, “dan bervitamin,
mangga dan jeruk”, gumamnya. Dengan
senyum tersungging di bibir Bunga bersiap mandi pagi untuk berangkat ke
sekolah.
“Bunga,”
Pak Guru memanggil Bunga dengan suara pelan. Bunga yang sedang mengerjakan
lukisannya tentang tanaman obat hidroponik milik adik bayinya, mengangkat
kepala, “Ya, Pak?”. Pak Guru tersenyum lembut sambil berkata, “Bunga sudah
dijemput Ayah. Ayo kemasi buku-buku dan peralatan sekolah Bunga”. Bunga
bingung, “Tapi, Pak, kan, masih jam belajar? Mengapa Ayah menjemput sekarang?”,
Bunga bertanya sambil membereskan mejanya. “Nanti ayah Bunga menjelaskan”, Pak
Guru berkata pendek. Setelah siap, Bunga menuju keluar kelas ditemani Pak Guru.
Di depan pintu ayah sudah menunggu. “Selamat atas kelahiran putri kedua Bapak”,
Pak Guru berkata sambil menyalami ayah. Ayah mengucapkan terima kasih kepada
Pak Guru. “Ayah! Ayah! Adik sudah lahir, Yah? Benar? Kita mau melihat ibu dan
adik, kan?”, mendengar ucapan Pak Guru, Bunga tak henti bertanya kepada
ayahnya. Ayah tersenyum, “Iya, Bunga. Bunga punya adik perempuan sekarang”.
Bunga bernyanyi-nyanyi senang.
Malam
itu, adik bayi menangis keras sedangkan ibu berusaha menyusui adik bayi. “Ayah,
air susu ibu kurang untuk menyusui Sekar”. Wajah ibu kesusahan. “Bu, ini Ayah
buatkan sup bayam dengan jagung manis. Dimakan, ya. Sedikit-sedikit. Sini, Ayah
suapkan Ibu”. Ayah menyuapi ibu, sedangkan Bunga menyiapkan susu untuk ibu. Sudah
seminggu ini setelah Ibu pulang dari rumah sakit ibu dan anak, Ayah sibuk mempersiapkan
makanan untuk Ibu.
Bunga
merasakan kesedihan ibu. Ia juga sedih karena Sekar tidak bisa minum air susu
ibu. Tapi ayah dengan telaten mengajak Bunga mempersiapkan makanan untuk ibu.
Ayah memetik daun bayam dari tanaman obat hidroponik untuk Sekar, lalu membuat
sup bayam. Kemarin ayah membuatkan ibu tumis pucuk pepaya. Hari sebelumnya ayah
menumis pare. Bunga senang hasil kebunnya dapat menolong ibu supaya bisa
menyusui Sekar. Hampir seminggu ini ibu menyantap masakan yang berasal dari
kebun tanaman obat Bunga dan Sekar.
Dua
minggu berlalu. Sekar tak lagi menangis keras. Ibu sudah mulai tenang, air susu
ibu sudah mulai mencukupi rasa haus Sekar. Setiap sore, sepulang ayah bekerja,
Bunga membantu ayah menyiapkan makan malam yang bergizi untuk ibu. “Ayah,
sebenarnya Ayah tahu tentang tanaman
obat dan pohon nama ini dari siapa, sih?”, Bunga bertanya sambil membasuh daun
kemangi untuk lalapan makan malam nanti. “Beberapa tahun yang lalu, Ayah
bersahabat dengan Cilogak. Cilogak adalah Orang Rimba yang memilih tinggal di
dalam hutan di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas”, ayah berhenti sebentar
karena harus mencicipi pindang ikan patinnya, “Hmmm … sedap!”, ayah
mengacungkan jempolnya. “Cilogaklah yang memberi tahu ayah, bahwa di hutan, ada
tempat khusus yang ditanami dengan tanaman obat dan buah-buahan untuk ibu yang
akan melahirkan”.
Keheranan
Bunga menatap Ayahnya, “Itu benar Ayah? Orang Rimba tinggal di dalam hutan?
Mereka menanam tanaman obat dan buah-buahan untuk ibu yang akan melahirkan?”
Ayah mengangguk. “Ayah, mereka sangat baik kepada ibu-ibu yang akan melahirkan,
di hutan mereka buat kebun obat dan buah-buahan”. Ayah membelai kepala Bunga,
“Bunga, setiap masyarakat, yang di kota, yang di desa, bahkan yang memilih
tinggal di hutan pun, memiliki pengetahuan masing-masing. Kita memang tidak
tinggal di dalam hutan, tapi bermanfaat sekali, kan, mengetahui tanaman obat
yang bisa menolong ibu menyusui Sekar?” Bunga menatap ayah penuh rasa ingin
tahu, “Tapi mengapa Ayah menyuruh Bunga mencari tanaman obat dari Internet
bukan meminta dari paman Cilogak saja?”. Ayah tersenyum, “Itu rahasia, Bunga.
Bagi masyarakat Orang Rimba, jenis-jenis tanaman obat dan buah-buahan untuk ibu
yang melahirkan tidak boleh diketahui oleh masyarakat lain. Jadi, ayah pikir,
yah, lebih baik menanam tanaman obat yang sudah biasa kita ketahui saja. Yang terpenting,
tanaman obat itu ada untuk ibu, Bunga dan Sekar”.
Berdua,
ayah dan Bunga meneruskan pekerjaan mereka menyiapkan makan malam. Di dalam
kamar, sambil menyusui Sekar, ibu tersenyum mendengarkan percakapan Bunga
dengan ayah. Ibu teringat masa ketika ibu mengajar baca-tulis anak-anak Orang
Rimba di dalam hutan di Kabupaten Merangin Propinsi Jambi, dan bertemu ayah
yang sedang meneliti mantra-mantra pengobatan Orang Rimba.
Menarik banget idenya. Aku mau juga ah bikin pohon nama buat anakku nanti. :)
BalasHapusAku juga punya rencana begitu nanti.:)
Hapus