Si Tupai Jenjang
“Huh!
Mengapa ini sulit sekali?” Aditya menghembuskan nafasnya keras-keras, ia
membanting pensilnya. Pensil yang tidak bersalah itu jatuh bergulingan di
lantai. Kertas-kertas buram berserakan di atas meja belajar. Satu buku latihan terbuka,
terlihat angka-angka dan gambar-gambar terpampang lugu. Satu buku pelajaran
juga menganga tanpa rasa bersalah. Ia berangkat dari kursi belajarnya dan
merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Sebentar saja ia terlelap.
“Dengar
Aditya, hasil rapormu semester ini tidak menyenangkan hati Ibu. Hampir semuanya
nilai rata-rata. Ke mana semangat belajar anak Ibu yang dulu menggebu-gebu?
Liburan semester ini Aditya tidak liburan ke mana-mana. Aditya harus
berkonsentrasi belajar untuk persiapan kelulusan!” Aditya mendadak terbangun,
suara Ibu terngiang-ngiang di telinga Aditya.
Angin
malam berhembus dingin masuk ke dalam kamar Aditya. Kain tirai jendela
melambai-lambai lembut. Segera ia berangkat untuk menutup jendela, ketika
tiba-tiba seekor tupai menggerak-gerakkn ekornya lucu seakan-akan ingin
mengajak Aditya ke suatu tempat.
“Aditya,
Aditya … aku Si Tupai Jenjang. Ayo, ikut aku, aku butuh bantuanmu!” Hampir saja
Aditya terlonjak karena serangan jantung mendengar panggilan tupai itu.
Untunglah Aditya adalah pemain basket yang handal di sekolahnya sehingga ia
sempat berpegangan pada sisi jendela dan menenangkan jantungnya.
“Iya,
Aditya! Aku Si Tupai Jenjang butuh bantuanmu untuk mencari kelapa cungkil. Kau
tahu, untuk menjadi manusia yang utuh, aku harus mencari sendiri kelapa cungkil
sebagai syarat!” Tupai itu berlari kecil menuju jendela. Ia mendekati Aditya.
Mata Aditya terbelalak. Ia mengucek-ngucek matanya.
“Aku
pasti bermimpi! Aku pasti bermimpi! Tidak mungkin seekor tupai berbicara
kepadaku! Tidak mungkin!”
“Aditya!
Aditya! Kau tidak bermimpi! Aku butuh bantuanmu. Untuk menjadi manusia yang
sempurna aku harus mencari kelapa cungkil. Aku tidak memintamu mencarikan
kelapa cungkil itu untukku, tapi aku butuh bantuanmu untuk mengetahui bagaimana
cara mengelilingi negeri Jambi yang sangat luas ini!” Mata Si Tupai Jenjang
mengerjap-ngerjap bersinar-sinar.
Aditya
mendekatkan wajahnya untuk meneliti tupai itu. Benar, itu tupai! Ia lalu
membelai tubuh Si Tupai Jenjang, benar itu tubuh seekor tupai!
“Kau
tahu Aditya, aku adalah anak Putri Lindung Bulan dan Raja Tua dari Kerajaan
Talang Acang. Aku terlahir sebagai tupai tapi aku bisa mendapatkan wujud
manusiaku jika aku berhasil mendapatkan kelapa cungkil.” Si Tupai Jenjang
menatap Aditya dengan sungguh-sungguh.
“Mengapa
tidak Putri Lindung Bulan dan Raja Tua saja yang mencari syarat itu, Tupai
Jenjang?” Aditya bertanya penasaran. Ia teringat dalam hidupnya semua
kebutuhannya dipenuhi oleh Ibu dan Ayah. Aditya tidak harus repot-repot mencari
uang agar bisa makan dan minum yang enak di rumah, juga pakaian dan alat
permainan hiburan.
“Ayahku
Raja Tua sudah pernah mencoba mencari apa yang Ibuku Putri Lindung Bulan
idamkan ketika mengandung aku, Aditya. Tapi kau tahu, kadang-kadang seorang
anak harus melakukan sendiri apa yang
keharusannya!” Si Tupai Jenjang menggoyang-goyangkan ekornya.
“Maksudmu,
Tupai?” Aditya bingung penjelasan Si Tupai Jenjang.
“Aditya,
yang harus berubah itu aku, Si Tupai Jenjang, bukan ayahku Raja Tua atau ibuku
Putri Lindung Bulan. Oleh karena itu, akulah yang harus mencari kelapa cungkil
itu! Ayo Aditya, bantu aku mencari cara mengelilingi negeri Jambi yang sangat
luas ini.”
“Baiklah,
baiklah! Aku akan membantumu! Tapi dengan caraku ya! Masuklah Tupai, kita akan
melihat peta negeri Jambi, dengan begitu kita akan bisa memperkecil area
pencarian kita sehingga kita bisa mempercepat pencarian kelapa cungkil itu.”
Si
Tupai Jenjang melompat masuk ke dalam kamar Aditya. Aditya mencari atlas yang
terselip di antara buku-buku pelajarannya.
“Nah,
ini peta negeri Jambi. Kita akan melihat ke mana kita pergi terlebih dahulu, baru ke tempat-tempat
lainnya. Kau bilang apa tadi? Kelapa? Kelapa cungkil? Apa itu kelapa cungkil?”
Aditya meletakkan atlas ke atas meja belajarnya dan membuka halaman yang memuat
peta provinsi Jambi.
“Kelapa
cungkil itu adalah pohon kelapa yang berbuah satu saja, Aditya!” Si Tupai
Jenjang bergerak-gerak lincah ke sana-ke mari sambil mengamati peta provinsi
Jambi. “Di mana kita sekarang, Aditya?” Tanya Si Tupai Jenjang.
“Kita
berada di Kota Jambi sekarang, Tupai. Hmmm, baiklah, karena kita harus mencari
kelapa cungkil, berarti kita harus mencari daerah yang banyak menghasilkan
kelapa. Dan itu berarti, daerah tepi pantai, karena di sana pasti ada banyak
kelapa yang tumbuh.” Aditya mengamati peta, lalu ia menunjuk daerah pantai. “Ke
sini kita akan pergi, Tupai, ke daerah Tanjung Jabung.”
“Kita
berangkat! Kita berangkat sekarang, Aditya!” SI Tupai Jenjang melonjak-lonjak
senang.
“Eit,
tunggu dulu, Tupai, tidak mungkin kita berangkat tanpa perbekalan. Kau tunggu
di sini, ya, aku akan menyiapkan persediaan makanan dulu, setidaknya untuk esok
hari sampai malam.” Aditya membuka pintu pelan-pelan, ia tidak ingin Ibu dan
Ayah mendengar ia ke dapur dan mengambil beberapa roti yang tersimpan di sana.
Ketika kembali, Aditya membawa juga botol air minum. Lalu ia mengambil buku
tabungan, menghitung jumlah. “Cukuplah untuk beberapa hari perjalanan”. Aditya
lalu mengemasi semua itu dan memasukkan dua helai baju ganti.
“Ayo
Aditya, lewat sini!” Tiba-tiba Si Tupai Jenjang sudah berada di luar. Aditya
melompati jendela dan menutupnya dari luar. Segera ia mengikuti Si Tupai
Jenjang yang berlari sangat lincah. Bulan di langit bergerak mengikuti mereka
memberi cahaya yang cukup. Entah berapa lama mereka berlari menyusuri semak dan
perdu, hewan malam berbunyi bersahut-sahutan. Tanpa setahu mereka, matahari
sudah mengintip di ujung langit, mereka tiba di tepi pantai.
“Tidak!”
Aditya terengah-engah. “Tidak. Tidak mungkin hanya dengan berlari semalam saja,
kita sampai di tepi pantai!”
“Tapi
Aditya, kita berlari dengan sungguh-sungguh! Kita berlari semalaman! Kita tidak
perduli halangan apa yang mungkin berada di depan kita tadi! Kita hanya
berpikir untuk berlari, berlari dan berlari! Kita bersungguh-sungguh, Aditya! Karena
kita bersungguh-sungguh dengan tujuan kita, maka kita sampai!” Si Tupai Jenjang
melompat-lompat gembira. Pohon kelapa di mana-mana.
“Tupai,
tunggu! Mari kita tunggu matahari agak terang sinarnya agar bisa kita lihat
kelapa yang mana yang hanya berbuah satu.” Aditya mengingatkan Si Tupai
Jenjang.
Pada
saat matahari mulai meninggi, terlihatlah bentuk batang-batang kelapa yang
subur. Aditya dan Si Tupai Jenjang mengamati satu per satu batang kelapa itu.
“Aditya!
Aditya! Itu kelapa cungkilku! Itu kelapa cungilku! Tapi …” Lompatan Si Tupai
Jenjang yang kegirangan terhenti seketika.
“SI
Tupai Jenjang, kau pasti mau kelapa cungkil ini, kan?” seekor ular berbisik
pelan. Sekali lagi jantung Aditya hampir lepas kalau saja Aditya tidak segera
mendekap dadanya erat-erat.
“Ambillah
dariku, jika kau bisa!” Mata ular itu bersinar-sinar, seakan-akan ada sesuatu
yang ia sembunyikan dari ucapannya. Ia membelit sebuah kelapa yang masih
tergantung pada tangkainya. Itulah satunya-satunya buah di batang pohon kelapa.
“Aku
bisa! Aku bisa!” Balas Si Tupai Jenjang percaya diri.
“Tupai!
Tupai! Jangan!” Terlambat Aditya berteriak. Si Tupai Jenjang sudah melompat memanjat pohon kelapa itu dan
hinggap di satu sisi kelapa cungkil yang luput dari belitan sang ular.
Pergulatan yang aneh terjadi di antara sang ular dan Si Tupai Jenjang, mereka
berusaha melepaskan kelapa cungkil itu dari tangkainya dan tidak ada yang
berhasil sampai waktu yang lama.
Dan
akhirnya, “Kraaaakkk!” Tangkai kelapa itu tak sanggup lagi menahan beratnya
sang ular dan Si Tupai Jenjang. Jatuhlah kelapa cungkil itu beserta sang ular
yang masih membelitkan tubuhnya dan Si Tupai Jenjang yang mengaitkan rahangnya
erat-erat di sisi lain buah kelapa itu. “Brukkk!”
Asap
tiba-tiba membubung tinggi dari tempat kelapa cungkil, sang ular dan Si Tupai
Jejang jatuh. Ketiga asap lenyap, tampillah sesosok pemuda gagah dan seorang
gadis yang manis.
“Tupai?”
Aditya ternganga. “Tapi, ular itu, kamu?” Ia menunjuk ke arah gadis manis itu.
“Aku
Putri dari Negeri Jerangkang ini. Untuk bisa berubah menjadi manusia, aku harus
berusaha sendiri. Aku harus bisa bersabar sampai seekor tupai bisa membantuku
untuk berubah.” Putri Negeri Jerangkang tersenyum manis kepada Aditya dan Si
Tupai Jenjang.
“Terimakasih
Aditya.” Mereka berdua mengucapkan terimakasih bersama-sama. Tiba-tiba
pandangan mata Aditya mengabur, samar-samar ia melihat Si Tupai Jenjang dan
Putri Negeri Jerangkang menghilang dari pandangannya. Juga batang-batang pohon
kelapa lenyap dari matanya.
“Blar!”
Geledek menyambar-nyambar. Aditya tersentak, terbangun. Terduduk ia di atas
ranjang. Kilat menyambar-nyambar dan angin deras masuk ke dalam kamarnya. Titik
hujan sebesar-besar biji jagung membasahi lantai kamarnya karena jendela yang
masih terbuka. Aditya mengucek-ngucek matanya. Lalu ia bergegas menutup dan
mengunci jendela.
“Aditya,
orang itu berubah hanya atas keinginannya sendiri. Jika Aditya tidak ingin
berubah menjadi lebih baik, tidak ada seorangpun yang sanggup mengubah Aditya,
sekarang ataupun di masa depan.” Suara Ibu Aditya terngiang-ngiang kembali di
telinganya.
Aditya
melihat buku-bukunya terserak di atas meja. Ia bereskan lalu ia memungut pensil
yang tadi ia lemparkan ke lantai.
“Iya,
bahkan untuk berubah menjadi manusiapun, Si Tupai Jenjang dan Putri Negeri
Jerangkang harus mencari dan memperebutkan kelapa cungkil sendiri, tidak bisa
diwakilkan oleh orang lain.” Aditya bergumam sambil membereskan buku-bukunya.
Di bawah buku latihan
Matematika yang tadi dikerjakan Aditya, tergeletak buku cerita rakyat Jambi
yang Aditya baca sebelum belajar tadi.
Komentar
Posting Komentar