Memahami Putri Tangguk
Brak! Suara
pintu kamar tertutup keras menyentak telinga merusak suasana sore yang sedang
dinikmati Angkasa. Angkasa menoleh, ia melihat wajah Aditi merengut masam,
“Hufh …” Aditi menghembuskan nafas keras-keras. Segera Aditi menghempaskan
tubuhnya ke tempat tidur sambil menutup kepalanya dengan bantal.
“Ada apa?”, tanya
kakaknya yang sudah kehilangan konsentrasi membaca sesuatu di layar komputer
sejak ia mendengar kerasnya suara pintu terbanting.
“Ini, lho Kak, teman-teman!”,
Aditi menjawab dari balik bantal.
“Lho, ada apa
dengan teman-temanmu?”
“Kelas kita, kan,
akan mengadakan acara ulang tahun kejutan untuk Walikelas kita Ibu Dewi dan aku
ditunjuk jadi penanggung-jawab acara …”
“Lalu?”, Angkasa
menunggu dengan sabar.
“Iya, ini teman-teman
bertanya terus bagaimana kelanjutan acaranya, karena hari ulangtahun Ibu Dewi tinggal
dua minggu lagi. Bertanya terus, bukannya memberi bantuan!” Aditi mengeluh.
Angkasa
mengambil bantal dari wajah Aditi. Aditi bangkit dan duduk.
“Nah, dirimu
sendiri sudah membuat rencana kegiatan, belum?”, Angkasa mencoba meneliti
kesulitan apa yang dihadapi oleh Aditi.
“Hah? Rencana
kegiatan? Rencana kegiatan itu apa, Kak?”, Aditi membelalakkan matanya. Angkasa
tersenyum merasa lucu sekaligus jengkel.
Angkasa beranjak
menuju meja komputer. Lalu ia mengganti musik yang selama ini menemaninya
membaca. “Begini ya, rencana kegiatan itu adalah catatan itu yang rapi untuk
mewujudkan kegiatan yag akan kalian laksanakan. Kapan, di mana, bagaimana
bentuk acaranya, juga berapa uang yang harus dikumpulkan agar acara itu
terlaksana. Dan yang terpenting, di dalam rencana kegiatan tercantum dengan
jelas siapa saja yang diberi tugas-tugas sehubungan acara ulang tahun kejutan
untuk Walikelas kalian Ibu Dewi.”
“Kalau kapan itu
pasti hari ulangtahun Ibu Dewi, Kak. Bentuk acaranya cuma memberikan kue ulang tahun,
menyanyikan lagu selamat Ulang Tahun dan kita akan memberikan kado kenang-kenangan
sederhana. Lalu, ada teman yang membacakan puisi dan menyanyikan lagu khusus
ciptaan kita dengan iringan gitar untuk Ibu Dewi”, Aditi menerangkan dengan
penuh semangat.
“Lalu, apakah
Aditi sudah menunjuk siapa bertugas untuk mengumpulkan uang sumbangan dari
teman-teman sekelas guna membeli kue ulang tahun dan kado kenang-kenangan?”, Angkasa
menatap Aditi serius.
“Kan, ada
bendahara kelas, Kak?”, Aditi menjawab dengan wajah tak mengerti.
“Aditi, Aditi. Apakah
kamu sudah menghubungi bendahara kelas?”, Angkasa menjewer lembut telingan
Aditi. Aditi mengelak tapi kalah cepat.
“Harus, ya, Kak?”,
Aditi mengusap-usap telinganya yang sempat kena jewer.
“Ya, iyalah.
Aditi harus berdiskusi dengan bendahara kelas apakah acara ini bisa memakai
uang kas kelas atau tidak. Kalau tidak bisa, apakah jalan keluarnya adalah
bendahara kelas perlu menarik sumbangan dari teman-teman?”, Angkasa menjelaskan
dengan rinci.
“Untuk pembelian
kue dan kado kenang-kenangan, siapa yang bertugas? Kalau sudah ada petugasnya, apakah
dia sudah berdiskusi dengan teman-teman kue dan kado yang seperti apa yang
cocok untuk Ibu Dewi”. Angkasa meneruskan dengan pertanyaan. Ia ingin Aditi
menjawab pertanyaan itu agar Aditi mengerti apa yang harus ia lakukan.
Aditi
menggeleng.
“Nah, untuk
bagian teman-teman menyanyikan lagu khusus ciptaan kalian sendiri diiringi
gitar, apakah lagunya sudah siap? Bagaimana dengan temanmu yang akan membacakan
puisi?”. Angkasa juga ikut-ikutan geleng-geleng kepala, tapi karena gemas.
“Lirik lagu dan
iringan gitarnya sudah siap, Kak.”, Aditi menjawab penuh keyakinan.
“Apakah kalian
sudah latihan? Siapa yang bertugas untuk mengatur jadwal kalian latihan?”
“Nggg … aku
tidak tahu, Kak.”
Angkasa
berpindah dari kursinya menuju Aditi dan mengucek-ngucek rambut Aditi.
“Aditi! Aditi harus
menunjuk salah satu temanmu agar segera mengatur latihan menyanyi dan membaca
puisi!” Angkasa menepuk-nepuk pipi Aditi dengan sayang.
“Hfff
… ternyata aku hanya harus mengatur siapa-siapa saja orang yang tepat, ya, Kak,
untuk melaksanakan acara kejutan ulang tahun Ibu Dewi?”, Aditi kembali
menghempaskan tubuh ke tempat tidur.
“Iya, jangan
jadi seperti Putri Tangguk!” Angkasa menyindir sambil tersenyum-senyum.
“Memang Putri
Tangguk itu, siapa, Kak?”
“Hmmm, makanya, rajin-rajin
membaca cerita rakyat Jambi, dong! Putri Tangguk itu adalah ...
Berdiam
seorang perempuan bernama Putri Tangguk bersama keluarganya di Danau Kerinci. Bersama
dengan suami dan ketujuh anaknya, mereka memiliki lahan sawah seluas tanggguk
yang sangat subur. Padi selalu tumbuh dan tumbuh sehabis panen dan segera
menguning tanda siap dipanen lagi. Putri Tangguk dan suami lebih sering berada
di sawah. Ia tak segera mengurus keluarganya dan jarang bergaul dengan
tetangga-tetangganya.
Suatu
malam Putri Tangguk akhirnya merasa seperti dikucilkan oleh warga sekitar. Ia berbincang
dengan dengan suaminya. Ia memutuskan bahwa esok hari ia akan memanen padi
untuk terakhir kali sampai semua lumbung terisi penuh, sebelum nantinya ia bersama
suami akan mengurus rumah tangga dan bergaul dengan masyarakat sekitar.
Ia
pergi bersama suami dan ketujuh anaknya untuk memanen padi di sawah pagi-pagi
sekali. Di tengah perjalanan Putri Tangguk terpeleset, hujan deras semalam
sebelumnya membuat hampir semua jalan di
desa itu licin. Meski ia selamat, Putri Tangguk marah besar. Ia berkata akan
menabur padi hasil panennya nanti di jalan itu sebagai pengganti pasir supaya
jalan itu tidak membahayakan lagi.
Dan
benar saja setelah Putri Tangguk beres memanen semua padi, ia melaksanakan
kata-katanya.
Ia
hanya membawa sedikit padi untuk dibawa ke rumahnya. Sesuai janjinya, bersama
suami ia mengurus keluarganya dan bergaul dengan tentangga sekitar.
Hari
berlalu, suatu hari Putri Tangguk berniat menanak nasi untuk makan sekeluraga,
ia meminta suaminya mengambil padi untuk untuk untuk ditumbuk. Tapi sang suami terkejut
ketika ia tak menemukan sebutir padi pun di semua lumbung. Ia memberi tahu
Putri Tangguk, dan sang istri pun tak kalah terkejut. Ia mengira semua padi
miliknya telah dicuri.
Dalam kepanikan, ia teringat masih punya
sawah yang begitu subur. Ia langsung mengajak suaminya pergi ke sawah untuk memanen.
Sesampainya di sana mereka sangat kecewa, sawah yang dulu penuh dengan rumpun
padi kini dipenuhi oleh rumput dan semak tebal, tak ada padi yang bisa dipanen.
Putri
Tangguk terdiam. Saat perjalanan pulang ia melewati jalan tempat dimana ia
terpeleset dulu. Ia ingat telah
menebarkan padi hasil panennya ke atas tanah sebagai pelapis jalan yang licin.
Di
rumah, Putri Tangguk hanya duduk termenung. Pada malam harinya, ia bermimpi
didatangi oleh seorang lelaki tua yang berkata bahwa ia kecewa pada Putri Tangguk.
Putri Tangguk telah berlaku sombong dengan menjadikan padi sebagai pelapis
jalan yang licin. Padahal, di dalam padi
yang dijadikan pelapis jalan itu ada setangkai padi hitam yang menurut orang
tua itu adalah raja para padi.
“Tapi, Kak, apa
hubungan kesombongan dan ketakaburan
Putri Tangguk atas sawahnya yang menghasilkan padi berlimpah itu dengan tugasku
sebagai penanggung-jawab acara ulang tahun kejutan Ibu Dewi?”, Aditi protes.
“Aditi, menurut Kakak,
sebenarnya cerita Putri Tangguk ini memberikan petunjuk mengenai bagaimana
seharusnya orang-orang bekerja untuk mewujudkan mewujudkan sebuah kegiatan.”
Angkasa berhenti sejenak menjelaskan. Ia ingin tahu apakah Aditi
memperhatikannya. Ternyata Aditi terlihat sangat tertarik dengan penjelasan
Angkasa.
“Sebagai pemilik
tanah sebaiknya Putri Tangguk mengupah orang saja untuk mengerjakan sawahnya.
Sama juga dengan pengolahan padi setelah panen, ia bisa mengupah orang untuk
melakukannya. Untuk kelancaran dan kenyamanan transportasi dari rumah ke sawah,
Putri Tangguk juga sebaiknya mengupah orang untuk memperbaiki jalan.” Angkasa
kembali berhenti menjelaskan. Ia mengambil buku teks ekonomi yang sedari tadi
tergeletak terbuka di atas meja komputer.
“Inti cerita
Putri Tangguk itu adalah bagaimana bentuk kepemimpinan yang baik akan berdampak
keuntungan bagi semua orang. Putri Tangguk pasti bisa mengurus keluarganya
dengan baik, ia juga akan bisa bergaul dengan tetangganya secara wajar.” Angkasa
membuka halaman-halaman buku itu, setelah bertemu dengan halaman yang ia cari
segera ia memberi pembatas buku.
“Malah, kalau
ditinjau dari sudut ilmu ekonomi, cerita Putri Tangguk ini adalah pelajaran
tentang bagaimana membagi tugas di antara banyak orang agar tujuan ekonomi
tercapai dan semua orang mendapatkan kesejahteraan dengan mengupayakan
kerja-sama yang baik. Dengan pembagian kerja seperti tadi, semua orang
mendapatkan manfaat ekonomis dari kesuburan tanah Puteri tangguk itu, ya, kan?”
Angkasa memasang kacamatanya, berdiri sambil membuka buku teks ekonomi yang ia
pegang dan berpura-pura menjadi seorang guru yang sedang menjelaskan pelajaran.
Lalu ia tertawa lucu. Aditi terpingkal-pingkal melihatnya.
“Oh, begitu. Baiklah,
terimakasih, ya, Kak. Malam ini aku akan menuliskan rencana kegiatan dengan
dengan teliti dan lengkap. Besok pagi aku akan menghubungi teman-teman yang
akan bertugas melaksanakan tugas-tugas tertentu agar kejutan ulang tahun Ibu
Dewi berjalan lancar.” Aditi berkata mantap.
“Nah, begitu,
dong! Eh, sana, mandi. Sudah sore!” Angkasa melemparkan handuk kepada Aditi. Aditi
beranjak sambil bersenandung.
Komentar
Posting Komentar