Harimau dan Batas Tanah

“Hah, sudah gelap!” Miko mengeluh sambil melangkah menjauhi jendela. Sepintas Miko sempat melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 16.00 WIB. Ia menuju ruang keluarga, menghempaskan tubuhnya ke sofa, tangannya segera meraih kendali TV jarak jauh.

“Ada apa, Miko?” Paman Miko yang baru saja datang dari kampung menegur Miko yang sedang kesal. “Lihat ke luar, Paman!” Miko merajuk. “Asap! Asap lagi! Sudah lama rasanya Miko tidak main di luar bersama teman-teman!

“Ah, kebakaran hutan”, paman menggerutu, “Dulu orang kampung meminta harta harimau seperlunya saja. Sekarang manusia seperti kelaparan kehabisan beras saja. Segala hutan dibakar!”
“Apa, Paman? Harta harimau? Apa maksud Paman dengan harta harimau?” Miko yang tidak pernah mendengar perkataan Pamannya tentang harta harimau bertanya penasaran.

“Kebakaran hutan membesar, harimau keluar dari hutan”, tiba-tiba suara penyiar berita di televisi mengagetkan Miko dan Paman. Di layar televisi terlihat seekor harimau berjalan gontai ke luar dari arah pedalaman hutan menuju jalan kampung . Kamera televisi menyorot tepat ke arah mata sang harimau.  Matanya marah dan kecewa. Miko merinding, ia merasa sedang bertatapan pandang dengan harimau itu. Dan ia merasa harimau itu sedang mengajaknya berbicara.  

“Anak, mengapa kau di sini?” Harimau tua itu menggeram lembut. Miko memandang sekelilingnya dengan mata perih. Percik api menggeletak menghanguskan semak dan perdu. Batang kayu pohon besar menghitam jelaga. Beberapa hewan hutan kecil tergeletak tak bernyawa. Miko hampir tak bisa bernapas lega. Asap membuat dadanya sesak. “Mungkinkah hewan-hewan kecil itu terbunuh karena tak bisa bernapas?”, Miko berpikir.

“Kau harus pulang. Hutan ini bukan rumahmu. Aku akan mengantarkan. Tapi, maafkan aku, kau harus melalui bara panas dan asap ini. Aku Cindaku, penguasa hutan ini”. Harimau itu mengeluh sedih, “Api ini menghanguskan rumahku. Hartaku!”

Samar-samar Miko teringat sesuatu, “Hartamu, Cindaku?” 

“Ya, anak. Hutan ini adalah rumahku. Dan batang-batang kokoh ini, yang sering kalian tebang untuk dijadikan papan rumah, tanaman-tanaman obat, madu, rotan, hewan-hewan liar buruan yang ada di hutan, adalah harta milikku”. Cindaku menggiring Miko berjalan melewati sisa bara. Mereka menembus asap pekat.

“Ah, itu di sana ada pondok pengelana. Mari kita istirahat dulu”, nafas Cindaku tersengal-sengal. Sunyi sebentar, lalu Cindaku meneruskan, “Dulu, dulu sekali, ketika Manusia dan Harimau masih bisa berbincang-bincang, mereka membuat perjanjian. Perjanjian “Batas Tanah” namanya”. Cindaku mencari tempat untuk tubuhnya yang besar dan gagah itu.

“Tunggu-tunggu!” Miko memotong, “Kau bilang dulu, dulu sekali manusia bisa berbicara kepada harimau. Lalu sekarang? Aku? Bagaimana sekarang aku bisa berbicara padamu, Cindaku?” Terheran-heran Miko menatap mata Cindaku.

“Anak baik. Itu pertanyaan yang baik. Kau masuk ke sini tanpa sengaja dan aku bertemu dirimu juga tidak diniatkan. Kita bertemu tanpa niat buruk. Itu sebabnya kita bisa saling mendengar dan berbicara”, Cindaku balas memandang mata Miko.

“Baiklah aku teruskan ceritaku. Manusia adalah penguasa kampung dan harimau adalah penguasa hutan”, Cindaku berhenti sebentar. “Pada saat itu batas antara kampung dan hutan tidak jelas. Itu sebabnya perjanjian batas tanah dilakukan. Jika manusia melewati hutan untuk mencapai kampung lain, atau untuk ke kebunnya, maka ia dianggap melewati wilayah kekuasaan harimau”. Guguran daun-daun ringkih terbakar mengentikan ucapan Cindaku.

Cindaku menggeram sebentar, “Sedangkan harimau, biasanya tidak akan keluar dari hutan, kecuali sumber makanan telah habis, atau terjadi kebakaran hutan. Saat kami, harimau keluar hutan, itu karena sumber makanan kami habis atau terjadi kebakaran hutan”.

“Cindaku”, Miko memotong, apa yang kalian lakukan di kampung? Apakah kalian memangsa manusia?” Miko bergidik dan bergeser agak menjauh dari Cindaku.

Cindaku menggeram, tapi seperti tertawa di telinga Miko. “Anak, kami hanya mengincar hewan ternak saja. Kami tidak akan menyerang manusia, apalagi membunuhnya”. Lalu Cindaku menggeliatkan badannya. “Ayo kita teruskan perjalanan. Aku mencium angin dan sepertinya kebakaran sudah agak mereda”.

Cindaku dan Miko berjalan dengan sangat hati-hati. Udara masih sangat terasa lembap dan pekat dengan asap. Tanah mengering dan ranting-ranting terbakar menghalangi jalan. Perjalanan terasa sangat lambat. Di depan tiba-tiba Cindaku menggeram.

Harimau itu pelan-pelan berubah menjadi manusia. Mulai dari kepala, leher, dada, lengan, dan kaki, lalu Cindaku sempurna menjadi manusia. “Anak, kita telah melewati batas tanah, wilayah perbatasan. Begitu kakiku menapak wilayah kekuasaan manusia, saat itu juga aku harus berlaku sebagai manusia. Sekarang kembalilah ke tempatmu berasal, tumbuh dan besar. Pulanglah, jalan setapak ini akan membimbingmu kembali”.

Miko seperti tak percaya pada apa yang ia lihat. Sedangkan Cindaku mulai melangkah mundur. Perlahan ia kembali menjadi harimau. Mulai dari kepala, leher, dada, lengan, kaki dan sempurna menjadi harimau. “Anak, aku berharap kau bisa menyampaikan pesan bangsa harimau di hutan ini. Manusia tumbuh dan berkembang dengan akal untuk hidup, sedangkan kami hanya bisa mengandalkan hutan dan harta seisinya”. Ia menggeram lemah.

Mata Cindaku bersinar-sinar. Ada genangan air di matanya. “Mintalah bangsamu yang tua dan dewasa untuk menghormati perjanjian batas tanah. Sudah lama perjanjian ini dikhianati, sedangkan kami tak bisa melawan. Kalian manusia punya bedil, traktor, gergaji raksasa untuk menghabisi isi hutan. Kalian bisa membakar harta kami dengan bahan bakar kapan pun kalian mau”. Cindaku menggeram marah.

“Dan ketika kami keluar hutan menuju kampung, kalian menangkap kami, memburu kami dengan semua senjata. Kalau kami melawan, dengan cakar dan gigi, kalian menganggap kami buas. Lalu bagaimana kami dapat menghidupi anak cucu kami bangsa harimau?”. Cindaku diam, lalu berbalik, Harimau tua itu kembali masuk hutan dengan gagah. Tapi, Miko tahu, Cindaku itu sudah tua, tua sekali.


“Miko, Miko! Bangun!” Miko tergagap, terbangun. Di hadapannya wajah Paman dengan mata jeli dan alis tebal bersambung memperhatikannya. Di depan, layar terlevisi masih memberitakan kebakaran hutan dan harimau yang turun ke kampung itu. Harimau itu menoleh ke arah Miko, mereka saling tatap. Lalu harimau itu melesat berlari kembali ke hutan.

Komentar

Postingan Populer